Jumat, 19 Maret 2021

SEINDAH TAKDIR CINTA BAGIAN DELAPAN# EDIT NASKAH NOVEL JUMINAH

 

COVER NOVEL JUMINAH

 

BAGIAN KEDELAPAN

KABAR BAIK

 

Allahu  Akbar, Allahu Akbar… Suara azan Subuh menyadarkanku bahwa ternyata sudah hampir 2 jam lamanya aku terlena dalam lamunan. Aku segera bangun, ambil wudhu, dan salat berjama’ah bersama ayah.

Tidak lama setelah selesai salat. Ada orang nengetuk pintu dan mengucapkan salam, “assalamualaikum.”

 Suara yang berasal dari luar rumah itu membuat aku dan ayah bertanya. Untuk menjawab rasa penasaran, ayah memintaku membuka pintu dan mempersilakan tamu masuk .

“Waalaikumsalam,” jawab kami bersamaan dari dalam rumah.

 Setelah aku buka pintu. Aku sempat bengong sebentar karena memang baru kali pertama melihat orang ini. Laki- laki yang mungkin usinya tidak jauh beda dengan ayah. Hanya saja bapak ini lebih bisa dikatakan seperti ustad karena memang aku melihat dari cara penampilannya.

“Mmm, bapak ada neng?” tanyanya membuat aku sadar kembali. 

“Oh iya ada. Mari masuk pak,” jawabku mempersilakan tamu masuk.  

“Buatkan kopi nak, dua yah.” Pinta ayah padaku.

Ketika aku selesai membuatkan kopi dan mengantarkan pada mereka, Pak Ustad meminta saya untuk duduk juga. Kami pun memulai pembicaraan dengan diawali dari pertanyaan ayah padanya.

Maaf sebelumnya, kita seperti kenal tapi sepertinya asing, Anda siapa yah? tanya ayah. Nama saya Yusuf. Menantunya Ustaz Sukarena, tepatnya suami dari putrinya yang bernama Ibu Badriah. Jelasnya. “Oh, iya,” jawab aku dan ayah secara bersamaan.

Lalu, Pak Ustaz ini sangat tumben sekali mau bertandang ke gubuk saya ini? Sepertinya ada suatu hal yang penting mungkin? tanya ayah sedikit penasaran.

“Nah itu dia, Pak. Jadi saya bisa sampai ke sini, karena saya mendengar adanya seorang siswi yang punya potensi, namun saat ini ia bingung mau meneruskan sekolahnya ke mana. Karena, maaf mungkin dari faktor keuangan Pak?" jelasnya yang sekaligus mempertanyakan kebenarannya pada ayah. Aku masih menyimak saja  dulu obrolan mereka.

“Benar sekali, seperti yang Pak Ustaz lihat saat ini. Rumah saja pun sudah mau roboh sedangkan penghasilan saya kerja, untuk kebutuhan sehari-hari pun kadang suka ngutang ke warung,” timpal ayah.

 “Nah kebetulan saya mau mengenalkan, ada sebuah pondok pesantren dan kiyainya juga insyaallah mau menerima seorang santri yang seperti neng Juminah ini. Dia punya potensi. Cukup cerdas juga. Orangnya baik dan bersungguh-sungguh dalam menggali ilmu. Jadi saya berharap bapak mau mendaftarkannya ke sana, tempatnya di Desa Luhurjaya, Kecamatan Cipanas, Pak.” Penjelasan Ustaz Yusuf ini adalah kabar baik yang sebelumnya tidak pernah aku duga. Aku sangat bahagia mendengarnya dan alhamdulilah sekali mendengar kabar baik ini Pak Ustaz.  

“Terima kasih sebelum dan sesudahnya, namun yang jadi pertanyaan saya, bagaimana dengan biayanya?” tanya ayah memperjelas segala kemungkinannya.

“Cukup Neng Juminahnya mau, siap, dan bersungguh-sungguh itu saja pak.”

 Jawaban Ustaz Yusuf Semakin membuatku girang. Lalu bagaimana dengan kegiatan di pondoknya pak? Itu kan sepertinya harus menetap di sana yah? tanya ayah kembali.  

“Yah, jelas. Karena disana itu pondok pesantren modern. Memperdalami ilmu agama, dalam bentuk mengkaji kitab-kitab ditambah kegiatan ekstra kurikulernya seperti muhadatsah, muhadoroh, marawis, dan lain-lain. Di sana juga sambil sekolah. Ada tingkat SMP ada juga SMK. Jadi, di sana disiapkan asrama juga. Lebih jelasnya, bagaimana peraturannya nanti, kita obrolkan nanti dengan Pak Kiyai nya langsung.

“Pak, bisa diatur harinya kapan kita bisa kesana?” jawabannya semakin membuat hatiku mantap kali ini.

Setelah aku puas menyimak dan mendengarkan obrolan ayah juga penjelasan Pak Ustaz Yusuf, ayah bertanya pula padaku.

“Bagaimana menurutmu nak? Ayah rasa kamu sudah paham tanpa ayah perjelas lagi.”

“Insyaallah aku siap ayah,” jawabku tanpa keraguan lagi.

“Alhamdulilah, baiklah kalau begitu saya pamit pulang dulu, karena ada kepentingan juga. Nanti tinggal Pak Juhri kontek saya langsung kapan kita bisa ke sana pak. Kebetulan ada santri lain juga insyaallah, teman Juminah juga dari kampung sebelah, dia anak yatim. Makanya saya juga mau memasukannya ke pondok pesantren juga,” jawab Pak Ustaz.

Pernyataan Pak Ustaz Sontak membuatku bertanya pula. “Siapa namanya pak?”

“Titin.”

“Oh iya saya kenal sekali pak. Yes, ada teman.” “Alhamdulilah, insyaallah kalian bisa saling memotivasi.”

Pak Ustaz Lalu bangkit dari duduk dan berlalu pergi seraya mengucapkan salam.

 

BAGIAN SEMBILAN

RELATION

 

Hidup harusnya dipenuhi oleh rasa syukur karena masih diberikan matahari pagi. Lihatlah hal positif setiap harinya walau terkadang kita harus melihat lebih keras untuk mendapatkannya.

Tidak pernah aku sangka sebelumnya kalau ternyata Allah punya rencana yang lebih indah.  Di satu sisi aku ingin meneruskan sekolah, karena aku punya cita-cita ingin menjadi guru. Di sisi lain juga aku ingin memperdalami ilmu agama, sesuai dengan nasihat yang selalu ayah berikan padaku setiap malam sebelum tidur.

Aku berpikir, begitu penting sekali orang harus memperdalami ilmu agama. Karena itu membuat seseorang merasa lebih dekat pada sang pencipta alam dan seisinya, termasuk apa kewajiban kita sebagai hambanya.

Menggiring pada amar ma’ruf nahi munkar dan sekarang jalan sudah terbuka. Ilmu dunia dan akhirat sepertinya harus seimbang dan dengan adanya pondok pesantren ini, membuat diriku segera mengoreksi sisi mana yang harus diperbaiki, mana yang perlu ditinggalkan, dan mana yang perlu ditingkatkan kembali. 

Salah salah satu hal yang sangat mendasar yaitu penampilan. Karena sebelumnya semasa SD/SMP aku tidak memakai kerudung dalam keseharian dan sekarang, harus dicoba untuk hijrah berhijab.  

Pagi telah berganti malam. Aku menemui temanku Titin,  yang katanya mau mondok bersamaku. Kebetulan aku sama dia hanya beda RT se. Jadi, masih bisa jalan kaki saja untuk bisa menuju ke rumahnya, 15 menit kemudian sudah sampai. Alhamdulilah luar biasa, keluarganya menyambutku dengan senang hati.

Ibunya Titin baik sekali. Bahkan ada baju-baju yang sekiranya bisa aku pakai buat di pesantren. Ia berikan padaku. Karena titin memang badannya lebih besar dari aku, jadi banyak baju-bajunya yang ia berikan padaku.

Titin memang sudah tidak punya ayah. Tapi ia masih memiliki kakak-kakak yang sangat peduli dan memperhatikan kebutuhannya. Ibunya juga luar biasa, bekerja keras sekali karena memang hanya Titin lagi satu-satunya anaknya yang masih butuh biaya. 

Jadi, bisa dibilang, Titin sangat beruntung apapun yang ia mau cukup menadahkan tangan saja. Beda dengan diriku yang harus bekerja keras membantu keluarga dan apapun yang aku mau, maka aku harus bekerja sendiri.  

Di teras rumah, kami sedang asyik berbincang. Tanya jawab tentang apa saja yang harus dipersiapkan, hpku tiba-tiba bergetar tanda ada pesan masuk. Kubaca, dan sedikit kaget. 

Pesan singkat dari Kak Maman  Orang yang sudah aku anggap seperti kakak kandungku sendiri. Tapi kali ini aneh, kenapa sepertinya ada sesuatu yang serius, sehingga ia menyuruhku untuk pulang dulu ke rumah, karena sepertinya penting. 

Maka aku segera pamit pulang dan mengucapkan terima kasih banya kepada Titin dan ibunya yang telah berbaik hati menolongku. Bahkan ternyata Ustad Yusuf  sampai datang ke rumahku itu karena ia dapat informasi tentangku dari ibunya Titin.

***

 

Aku melihat Kak Maman yang sepertinya sudah menungguku lumayan lama. Lalu mempersilahkan aku duduk, kemudian menyodorkan padaku makanan ringan yang sudah disiapkannya. Memang begitulah kebiasaannya, main ke rumah. Lalu menyuruhku duduk dan makan.

Selebihnya dia sendiri asyik ngobrol sama ayahku dan aku hanya jadi pendengar setia sambil asyik dengan kuaci dan permen. Namun malam ini nampak seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan padaku, tapi tertutupi oleh rasa malunya itu. Namun, cukup ada yang unik dan menarik di sini. dia tiba-tiba melihat satu persatu tulisan yang ada dibalik permen.

Ada permen namanya permen “kiss” aromanya harum, rasanya manis, dan ada mintnya. Lalu tangannya terhenti di satu permen yang aku belum tau kenapa permen itu yang dipilihnya, kemudian ia berikan itu permen padaku dengan menunjukan tulisan di permen itu “I LOVE YOU.”

Aku belum mengira kalau dia punya maksud dibalik itu. Aku hanya mengucapakna terima kasih dan yang aku pikir saat ini, mungkin dia hanya ingin memberikan permen saja.  Namun yang aku herankan kenapa tingkahnya seperti orang yang sedang bersiap-siap lompat jauh.

Pada akhirnya aku bertanya, sepertinya ada sesuatu yang perlu dibicarakan karena tumben juga menyuruh aku pulang, bukankah setiap hari Kak Maman main ke rumah juga.

“Sibuk ngobrolnya sama ayah kan?” tanyaku padanya. Dia mulai berani bicara.

“Sebelumnya, aku aku minta maaf dan aku harap kamu jangan marah padaku. Selama ini,sejak kamu kecil, senang main hujan-hujanan, kamu sekolah SD sampai sudah tiba lulus SMP. 

Ini saat yang saya tunggu-tunggu. Tepatnya mungkin ketika dirimu kelas 6 SD, saya lebih memperhatikanmu. Kamu itu menarik. Itu yang membuat saya suka.  Jadi.  Menurutmu, apakah aku pantas mengatakan “aku suka sama kamu?”

“Deg…….” pengakuannya membuatku hampir tersedak permen. Walau memang sebetulnya aku sudah menduga sebelumnya. Cepat atau lambat itu akan terjadi, karena Kak Maman memang dekat sekali sama ayah dan ayah sedikit bisa memahami tentang sikapnya yang sepertinya ada hati pada anaknya. Tepatnya diriku.

Sekarang, apa yang harus aku jawab, bagaimana aku harus mengatakannya? Yang aku tau aku memang sudah berasa dekat sekali dengan Kak Maman.

  Setiap pagi aku  selalu buatkan kopi karena memang dia tidur di luar rumahku bersama ayah. Ditemani musik dari hpnya, salah satu lagu yang hampir setiap malam aku dengar jdulnya “karang cinta.” Sekarang aku paham. 

Pertama memang karena ia suka dangdut. Kedua. Lirik lagunya ditujukan padaku agar aku bisa memahami perasaannya. Kadang aku bertanya pula dalam hati, apa tidak kedinginan? But mybe just happy. And no need the reason. Tidak butuh suatu alasan untuk sesuatu yang bisa membuat seseorang bahagia.

Bahagia saat bisa melihat orang yang dicintainya setiap malam setelah aku selesai belajar mengaji tepatnya Ba’da Isya. Setiap aku hampir sampai di rumah harum aroma parfume green tea/ anasui yang tanpa alkohol. Aku sudah bisa menebak kalau Kak Maman sudah ada di luar rumahku.

 Bahagia ketika pagi hari sudah ada yang membuatkan teh/kopi dan dia yang membelikan gorengannya. Bahagia pula saat sebelum berangkat sekolah aku selalu bersalaman lalu kemudian mencium tangannya karena memang aku menghormatinya sebagai orang yang lebih tua umurnya dariku dan aku sudah menganggap sebagai kakak kandungku.

Kebersamaan dalam keseharian membuatku tak ada lagi rasa canggung padanya dan aku rasa tidak perlu adanya “relation” di antara kami. Karena aku sudah nyaman dan merasa cukup bahagia dengan kenyataan ini. Tapi kali ini aku di hadapkan pada sebuah pernyataan yang butuh jawaban. Namun sebelum aku menjawab dan mengambil keputusan yang tepat. Aku bertanya terlebih dahulu padanya.

“Apakah ada sebuah alasan yang membuat Kak Maman mencintaiku, bahkan bisa memendam perasaan selama ini?”

“Karena kamu lain dari yang lain”

“Maksudnya?”  tanyaku memperjelas.

“Sejak kamu kecil aku selalu memperhatikanmu, kemudian saat kamu SD aku pantau perkembanganmu, tapi aku belum berani untuk berkata tentang perasaanku yang sesungguhnya, bahwa aku tidak hanya memperhatikanmu sampai ketika kamu masuk SMP.

Di tengah kesibukanmu mengurus adik-adikmu, bekerja keras pula untuk bisa menghasilkan pundi-pundi uang, tak peduli panas matahari membakar kulit yang pada umumnya kebanyakan gadis senang mengurung diri, dengan alasan takut kulit hitam, dan lain-lain. Tapi kamu, tidak peduli semua itu.  

Cintamu pada keluargamu begitu besar, melebihi cinta pada dirimu sendiri dan yang membuat aku salut, kamu masih tetap bisa mempertahankan prestasi sekolahmu.  

Aku benar-benar mengagumi seorang anak gadis, polos, mandiri, senang membantu orang tua, juga bersifat keibuan. Tegas tapi mendidik. Itu yang aku suka. Karena aku tau kamu itu punya hati yang lembut sebetulnya dan maafkan aku yang saat ini sudah lancang mengatakan bahwa pada akhirnya, aku mencintai kamu. Will you married me?

Ungkapannya membuatku meneteskan air mata. Membuatku mengingat kembali segala hal yang pernah aku alami sebelumnya. Aku bisa menyimpulkan bahwa laki-laki yang berada dihadapanku saat ini adalah bukan orang biasa. Dia tidak tahu saja kalau aku juga telah sedikit kepoin tentang dirinya. Karena aku juga sudah menduga kalau cepat atau lambat dia akan memberikan pertanyaan “do you love me? or “will you married me?” Aku harus sudah punya jawaban itu.

 Aku tahu, Kak Maman ini jangankan untuk main-main ke sana ke mari. Ke rumah wanita atau boncengan motor dengan seorang perempuan yang bukan mahromnya.

Kesehariannya pun selalu ia peruntukan mengurus sawah, ternak, kebun, milik almarhum ayahnya. Karena dia anak tertua pula dari 7 bersaudara, hampir sama seperti diriku yang harus memikul beban keluarga. Bedanya, dia punya harta, aku tidak punya sawah/kebun sepetakpun. Apalagi kerbau. Kaki kerbaunya pun tak punya.

Makanya itu, aku sadar diri dan sepertinya itu pula yang membuatku malu, karena aku tidak punya apa-apa. Bedanya lagi, Kak Maman sudah tidak memiliki ayah, karena ayahnya meninggal saat ia masih sekolah SD. Tapi karena dia laki-laki yang tangguh dan mandiri, ia nikmati saja hidupnya.

Bahkan ketika adiknya ingin membeli motor,  ia persilahkan. Sedangkan dia,  jangankan motor, hp aja nokia jadul tanpa camera, yang setia dengan radio malamnya. Itu yang aku suka. Tidak mengedepankan ego sendirri. Karakternya hampir sama denganku, mandiri, rajin, baik, perhatian, dan peduli pada orang lain.

Hanya saja, dia pendiam, sedangkan aku super nyerocos. Kalau sedang bicara, seperti tiada titik/koma. Kata orang sih  begitu . Heeee .  Dari itu pula, aku tidak mau laki-laki yang menjadi kekasihku  itu adalah laki-laki yang senang bermain-main dengan hati, atau dengan mudah ia katakan cinta, juga pada akhirnya seperti wajah tanpa dosa pula ia memutuskan atau meninggalkan.

Tentunya tidak ada orang yang mau dicintai dan siap disakiti  selanjutnya. Bahkan mungkin ketika seorang wanita dihadapkan pada dua pilihan pilih ”dimadu atau diracun?” maka aku yakin ia tidak akan memilih keduanya.

Terlebih aku sudah pernah merasakan sebelumnya, bagaimana rasanya jatuh cinta. Walau sebagian orang mengatakan bahwa “cinta itu anugerah.” Memang, mungkin saja aku bisa membenarkan kalimat itu. 

Jika memang cinta itu datang di waktu yang tepat situasi yang tepat dan dengan orang yang tepat pula. Yang aku bisa katakan saat ini, jatuh cinta itu sakit, namun itu masih bisa dikondisikan. Tapi yang bahaya itu kalau sudah menemukan kenyamanan. 

Itu kenapa dulu, aku lebih memilih dia yang pernah aku cintai untuk pergi dari duniaku karena di samping aku takut sakit hati, situasi dan kondisi nya pun sangat belum tepat.

Aku masih harus belajar, menambah pengalaman, dan tugas terpenting adalah membahagiakan keluarga. Sejenak aku merenung. Apa yang dicari atau diharapkan dari sebuah hubungan? Kebahagiaankah?

Sepasaang anak manusia tertawa bersama, dan saling bertatap dan saling menggenggam. Serta gelak tawa yang terdengar memberi tanda kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Kalau hanya mencari bahagia, aku bisa saja bahagia sekarang, tapi besok belum tentu jaminan itu akan terjadi. Bukankah sebuah hubungan akan terasa hambar jika tanpa rasa nyaman?

Bahagia atau nyaman memang kita yang menciptakan keduanya pun dibutuhkan dalam setiap hubungan. Tapi tak keduanya bisa menentukan seberapa sukses hubungan kita ke depannya. Sebab menjalin hubungan hanya karena ingin bahagia, semua orang yang bisa membuatku tertawa pasti bisa memenuhinya.

Menyenangkan, sudah pasti. Tapi yang aku takutkan. Bagaimana jika hubungan yang akan aku jalani ini tak selalu menawarkan bahagia? Kalau ditanya. Apakah dia bisa menerima segala kekuranganku?” Misalnya, aku yang selalu berpakaian apa adanya. Tidak peduli penampilan, tiap hari panas-panasan terus atau tidak suka keramaian karena alasan tertentu, dan sebagainya. Aku rasa dia sudah sangat tahu itu. Karena ia sudah mengenalku dan memperhatikanku terhitung cukup lama.

Bukan hanya satu atau dua hari, satu atau dua  tahun, tapi bertahun-tahun. Jadi, aku tidak perlu alasan untuk aku menolak cintanya. Walau selama ini, aku telah menganggap Kak Maman sebagai kakak ku sendiri. Mungkin mulai detik ini aku harus belajar untuk membalas perasaannya karena aku, tidak mungkin bisa menyakiti hati orang yang selama ini sangat baik padaku juga keluarga.

                       

BAGIAN SEPULUH

HARI YANG BERGANTI

 

Ini adalah awal mulanya aku menerima seorang laki-laki di hidupku. Walau padahal, aku sendiri tahu dan paham ketika masih sekolah SMP.  Ada laki-laki yang terbilang cukup pintar, tapi orangnya pemalu dan diam. Hanya berani menyimpan selembar surat di dalam lipatan novelku dan jelas isi suratnya adalah bahwa dia suka padaku.

Tapi, lagi-lagi aku belum tertarik dengan yang namanya pacaran. Mungkin orang menyebutnya karena dengan alasan yang sama tentunya. Aku merasa, tidak percaya diri saja. Masa iya, ada laki-laki yang suka sama perempuan sepertiku. “that is imposible” tegasku dalam hati.

Ada pula laki-laki yang senang menyembunyikan sepatuku setiap aku mau pulang. Tapi anehnya, dia selalu menyembunyikannya di tempat yang sama. Di tengah rerumputan dan bunga di taman sekolah. Entah apalah maksudnya. I dont know.

Tapi kali ini, tepat ketika dalam jangka 3 minggu lagi aku akan memulai hidup baruku di pesantren. Aku malah mulai belajar membuka hati. Menurut orang lain mungkin, untuk apa sih pacran tapi terpisah jarak. Kan tak bisa ketemu, kan tak bisa jalan bareng, kan tak bisa saling bertatap muka, and bla bla bla bla...., tapi yang menjadi pondasiku saat ini adalah cinta cukup saling menjaga perasaan, kesetian, dan saling memberi kepercayaan. “Just that, enough.”

***

Tiga minggu berjalan sudah. Kini, tiba saatnya aku melangkah. Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita, lahir pagi membawa keindahan. Seindah penampilanku sekarang.

Kala pagi ini aku bersama sahabatku sudah berpakaian rapi dengan mengenakan kerudung. Yang tadinya aku memakai kerudung hanya di waktu sekolah saja. Kini, aku memulai new fashion. Kapanpun dan di manapun harus terbiasa dengan pakaian yang agak kebesaran seperti saat ini. Membawa masing mssing perbekalan. Untuk di pesantren selama beberapa minggu ke depan.

Dengan mengucapkan bismillahi rohmani rohim, mobil pun melaju, mulai meninggalkan kampong halaman. Aku bersama 3 sahabatku, juga beserta orang tua masing-masing. Kurang lebih perjalanan 2 jam kami sudah sampai di Pondok Pesantren Mathla’ul Hidayah Tarbiyatul Islamiah. Pondok pesantren yang akan mencetak seseorang menjadi shaleh dan shalehah, insyaallah.

Suasana pesantren masih sepi, hanya ada beberapa orang dewasa terlihat yang mempersilahkan kami ketika turun dari mobil untuk duduk di majlis dulu ketika itu. Sepertinya ia seperti seorang ustaz.  

“Pak Kiyai kebetulan sedang tidak ada di rumah, Pak.”  Kata ustad yang aku belum tahu namanya siapa.

“Oh iya gak apa-apa. Tadi beliau sudah menghubungi saya, dan sebentar lagi sampai katanya. Jawab Ustaz Yusuf.”

Baru saja aku menginjakan kaki di tempat ini. Aku seperti merasa sangat nyaman sekali dengan suasana pesantren ini. Berada di tengah perkampungan. Suasananya adem. Sambil memperhatikan keadaan sekitar. 

Pandanganku  terpaku melihat sebuah majlis dengan cat hijau yang dikelilingi samping dan belakang majlis dengan perkebunan kangkung dan pesawahan yang sedang menghijau.

“Itu pak kiyai datang.” Suara Ustaz Yusuf mengembalikanku dari lamunan.

“Assalamualaikum.” Ucap Kiyai begitu sampai. Menyapa kami dan aku langsung bersalaman pada Kiyai juga seorang perempuan yang dikenalkan pada kami sebagai Ibu Kiyai. 

Singkatnya, alhamdulilah kami sudah diterima sebagai santrinya Pak Kiyai.  Setelahnya, ibu kiyai menunjukan pada kami dan mengantarkan pada beberapa tempat. Mulai dari asrama, yang bernama Gedung Fatimah, di atas Gedung Fatimah ada Gedung Humaeroh, bersebelahan dengan Gedung Umi Kultsum, selanjutnya ada Gedung Habibah, itu gedung yang ditempati ustazah.

Lalu,masih ada lagi Asrama Hawaril Manzila, Roudotul Jannah, dan di tunjukan pula di mana kamar mandi santri, juga di mana kamar mandi santri. Selanjutnya Ibu Kiyai juga memberi tahu pada kami. Gedung sekolahnya. Gedung  SMP kelas VII, VIII, dan Kelas IX  yang dinamakan dengan Gedung Utara dan SMK kelas X,XI,dan XII yang diberi nama Gedung Selatan.

Lalu di bawah gedung sekolah ini ada asrama santri laki-laki yaitu Arriyadh dan Al Fatah. Ada lagi asrama yang aku sudah lupa namanya apa. Juga selanjutnya ditunjukan.

“Itu letak kantinnya. Di mana nanti kalian membeli apa kebutuhan kalian. Serba ada di situ bersebelahan dengan  dapur pengambilan nasi dan lauk pauknya tinggal beli di sana” kata Ibu Kiyai sambil menunjukan pada tempat kecil yang bersebelahan dengan kantin.

Bagaimana nanti jika aku sedang kehabisan bekal, mungkinkah aku bisa makan? tanyaku pada hati  dengan sedikit meragukan nasib. 

Tawakaaltu Alallah, karena tujuan utamaku kesini yaitu untuk mencari ilmu, lanjutku dalam hati. Setelah selesai berkeliling akhirnya orang tua kami pamit pergi. 

Di situlah, baru aku merasakan. Beratnya berpisah dengan mereka, orang-orang yang aku sayangi. Tapi, lagi-lagi aku tersadar bahwa merekalah prioritas utamaku, mengapa aku harus ada di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Challenge Resensi Buku “ Kisah Serdadu-serdadu Kecil”

  Sumber: www.wijayalabs.com Resensi Buku “ Kisah Serdadu-serdadu Kecil” Hai sobat Lage, hari ini saya mendapat kejutan buku karena suda...