Sabtu, 07 November 2020

CERPEN ESTAFET KAB




CERPEN ESTAFET

Satu minggu ini saya baru bergabung dengan Komunitas Aksara Bermakna disingkat KAB. Komunitas ini sangat wellcome sekali. Setiap hari peserta ditantang membuat karya sendiri. 

Komunitas ini dibuat oleh Bunda Usrotun Hasanah. Beliau seorang editor handal dan  sangat ahli dalam membenarkan kata atau kalimat yang salah. Jadi selain kita membuat karya, kita juga diajarkan tata kalimat yang baik dan benar. Asyik sekali bukan?


Hari Sabtu adalah hari dimana peserta diminta berkonstribusi untuk membuat cerpen estafet(bergantian). Setiap peserta diminta mengisi list agar mengetahui urutan masing-masing. Saya ada diurutan k 9.


Kak Usrotun Hasanah mengawali kutipan cerpennya. Cerpen ini dimulai dari jam 15.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB. Inilah hasil dari Cerpen Estafet yang kami praktikkan bersama. 


SECANGKIR KISAH

Oleh: Komunitas Aksara Bermakna (KAB)

Angin malam menyelimuti tidurku, dengan alunan daun-daun yang menari bersama hangatnya cahaya kesunyian. Malam ini tidak seperti biasanya, aku melamun menatap sesosok bidadariku yang tergambar bersama kenangan-kenangan lalu. Betapa bodohnya diriku. Oh, Tuhan, mengapa ini harus terjadi? Isak tangisku tak kunjung henti bersama rasa sesal dalam hati.


Tok … tok ... tok ….

Terdengar suara di balik pintu kamarku. Aku tahu, seseorang yang mengetuk pintu kamarku tak lain adalah ayahku.


“Ra, kamu sudah tidur?” tanya ayah dengan sangat lembut.


Aku bergegas menarik selimutku sebelum ayah masuk ke kamarku. Aku tidak ingin ayah tahu kalau aku sedang menangis.


“Ternyata anak ayah sudah tidur, ya.” Ayah mengusap kepalaku lembut.


Sentuhan lembut yang ayah lakukan itu sama seperti seseorang yang telah melahirkanku yang kini tidak ada di kehidupanku lagi. 


Sesaat kamarku hening, hanya detak jam dinding yang memenuhi kesunyian ini. Tiba-tiba sebuah tetes air mata terjatuh di pipiku, tapi kini bukan air mataku. Ayah, jelas ini air mata ayah! Ayah menghapus air matanya dan meninggalkan kamarku. Tak kurasa, isakan tangisku ini membuat mataku sangat berat hingga membuatku terlelap. *(Usrotun Hasanah)*


Kring... Kring... Kring...

Bunyi jam beker membangunkanku dari tidur lelapku. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 03.00 Wib. Seperti biasanya, aku menuju kamar mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat tahajud. Tidak seperti biasanya, aku sangat merindukan ibu. Mungkin ini adalah pertanda waktuku di dunia tidaklah lama lagi. Ku panjatkan doa untuk beliau dan ayah. Semoga kelak kami bisa bertemu di surga-Nya. *(Anis Surofah)*



Setelah sholat Tahajud aku tak bisa kembali memejamkan mata, padahal shubuh masih agak lama, aku membaringkan tubuhku, dan ternyata tak bisa kupejamkamkan juga mata ini.


Sayup- sayup kudengar suara tahrim masjid berbunyi. 

"Ahh sudah subuh, padahal aku masih mengantuk"

Gumamku. 


Akhirnya aku beranjak dari kamar dan masuk ke kamar mandi dan bergegas sholat subuh dan berencana setelah sholat subuh akan berolahraga sejenak sambil keliling komplek perumahan sambil menunggu matahari terbit.

*(Yuliani)*


Fajar mulai menyingsing, aku pun menghentikan langkahku sejenak. Aku tahu tenagaku sudah tidak kuat seperti dulu. Fonis yang diberikan dokter membuatku lemah secara fisik, namun aku menerimanya dengan ikhlas. Jalananenuju rumahku masih terlihat sepi. Aku pun merebahkan tubuhku di teras, dan ku ambil ponselku yang sejak dari tadi berbunyi terus notifikasi masuk. Lalu kudapati chat yang masuk dari Rayhan pacarku.


Rayhan: Ra, nanti siang aku jemput ya.


Aku hanya membalas dengan kata O.k *(Sri Ncie)*


Seperti biasa, kegiatanku di hari Minggu. Selepas _jogging_, aku membereskan rumah dan memasak untuk ayah. Mak Tuti, asisten rumah tanggaku libur setiap hari Minggu.

 Sebenarnya, kami tidak butuh asisten rumah tangga. Tapi semenjak aku sakit, dokter selalu berpesan jika aku harus banyak istirahat.


"Yah, aku pamit keluar sebentar," pamitku pada ayah yang sedang membersihkan kebun di depan rumah.


"Mau kemana, Ra," tanya ayah sambil tersenyum melihat penampilanku yang rapi. 

Aku tersipu malu ayah tersenyum seperti itu.


"Aira mau ketemu teman sebentar. Boleh kan, Yah?" aku merajuk.


Ayah pun mengangguk sambil berkata, "Hati-hati, Ra. Jangan pulang terlalu sore! Ingat,  kamu tidak boleh lelah."


Kucium tangan ayah dan aku bergegas pergi dengan bahagia, karena sebentar lagi aku mau ketemu Rayhan.


*(Yayah Fatmiyati)*                                                                                                                  Aku keluar menuju gerbang. Rahyan pun sudah bersiap untuk mengajakku pergi ke tempat terindah. Ternyata Rahyan mengajakku ke taman bunga.  Begitu indah suasana alam yang disuguhkan. Hatiku bahagia menyusuri tempat yang indah bersama sosok yang ku cintai. Hariku terasa lama saat ku bersamanya. Dia menyemangatiku, memberikan kekuatan dan ketulusan yang ku rasa. Sungguh aku masih betah di dunia ini. Harapku yaitu ingin bersama sosok yang ku cinta untuk waktu yang lama. Rahyan sosok yang berharga dihidupku. Aku berjalan melihat hamparan bunga. Rahyan memetik satu bunga yang mekar dan wangi. Aku tersenyum dan tetap dengan harap indah, semoga ini bukan bunga terakhir yang ia berikan aku masih ingin menghirup udara hari ini bersama sosoknya. Kami berfoto dengan berbagai fose. Tiba-tiba kepalaku pusing. Rahyan berkata "Kamu kenapa sayang? Tidak kenapa-napa aku baik-baik saja sayang. Tapi...  wajahmu begitu pucat. Tidak aku baik-baik saja yuk kita duduk disana.   *(Yuli Marsela)*


Rayhan memapahku menuju tempat duduk yang ada di dekat taman bunga. Ia mengajakku duduk tepat di sampingnya, sesaat ku menghela nafas panjang,  tak terasa keringat dingin bercucuran keluar dari dahiku. " Ra, istirahatlah dulu, jangan banyak gerak biar stabil nafasmu sayang.", Ucap Rayhan. Aku sandarkan kepalaku di bahu Rayhan, tak terasa air mataku menetes. "Sayang , aku masih ingin bersamamu, menikmati setiap hal bersamamu, melahirkan anak-anak kita kelak." , Kataku ke Rayhan  sambil tak terasa air mataku terus menetes membasahi pipiku. Memang bagiku Rayhan adalah semangatku yang selalu ada untukku. 


Perlahan Rayhan duduk tepat di bawah tempat dudukku, ia memegang kedua pipiku  sambil berkata, "Ra, kamu akan tetap tersenyum, melahirkan anak-anak kita, memasak untukku, membuatkan kopi setiap saat untukku." Sambil terus memandang kundengan tatapan yang begitu membuatku semakin terbuai dan serasa tak sanggup bila harus berpisah dengannya.


Perlahan matahari mulai menyembunyikan sinarnya dengan malu-malu, inilah saatnya kami kembali ke rumah, namun sebelum pulang seperti biasa kami mampir ke tempat makan langganan kami. *Asih awaffa florist*


Sesampai di rumah, Ayah langsung menghampiriku. 

"Ra, mukamu pucat."

"Kamu kelelahan, Ra."

Sambil memapahku menuju kamar, ayah memperhatikan dengan seksama.


Bruk...

Sebelum sampai kamar, aku ambruk dalam dekapan ayah.


"Ya Allah..., Ra... Ra..." seru ayah panik.


Saat membuka mata, aku sudah berada dalam ruangan yang serba putih. Ayah tertidur di samping ranjang. 

Ah, aku selalu merepotkan ayah. *(Ratna Yee)*


Ku lihat wajah ayah yang tertidur dengan penuh rasa cemas. Ayah memegang tanganku erat-erat. Seperti tak ingin melepaskanku pergi dari dunia ini. 


Oh Tuhan.. Sebenarnya aku ingin selamanya bersama ayah. Namun aku merasa, waktuku tak lama lagi. 


Aku tak bisa beraktivitas seperti orang-orang pada umumnya. Masa remajaku seakan habis di rumah sakit ini. Seandainya aku bisa meminta pada Tuhan, 

Tolong berikan aku waktu  dan membiarkan orang-orang di sekitarku bahagia saat aku tiada. 



Ayah terbangun dari tidurnya dan membuyarkan semua lamunanku. 

 *(Aam Nurhasanah)* 


Aku hanya bisa menatap kosong ruang yang serba putih.Kupandangi wajah lelah ayahku yang setiap saat harus menemaniku ketika rasa sakit itu datang.

Dalam hati aku berkata,"Maafkan aku ayah yang selalu merepotkanmu," tanpa terasa air mataku menetes.

Aku hanya bisa berharap semoga sakitku bisa semakin membaik. Andaipun aku harus pergi, aku ingin pergi dengan damai tanpa meninggalkan duka mendalam buat orang- orang yang mencintaiku.

Meski harus menahan sakit aku selalu berusaha  tersenyum, karena senyumku bisa sedikit menghiburku dan mengurangi rasa sakitku.

 *(Endang Giartiningrum)*


_"Mas Hendra ... Mas ..."_

Tiba-tiba terdengar suara memanggil ayah.

"Ayah, itu seperti suara tante Mira, _deh,"_ kataku pada ayah.

"Iya, betul. Ada apa dia pagi-pagi ke sini," jawab ayah bergegas keluar kamar.

Aku pun mengikuti ayah menyambut tante Mira.

"Mir, ada apa? Pagi-pagi masuk teriak-teriak segala," ujar ayah pada tante Mira yang kelihatannya tersengal-sengal seperti terburu-buru. Om Ardi yang berjalan di belakang tante Mira langsung duduk dengan muka agak _nekuk._

"Mas, Rayhan!" teriak tante Mira.

"Kenapa dengan Rayhan?" tanya ayah heran.

"Dia dibawa ke kantor polisi," jawab tante Mira sambil menatap wajah ayah dengan mata berkaca-kaca.

"Apa? Ini sudah kali ketiganya," jawab ayah sambil mengalihkan pandangan ke arah Om Ardi yang seakan _cuek._

*(Luluk Ernawati)*

"Reyhan ini memang terlalu, sudah berapa kali dia buat kekacauan seperti ini, memang seharusnya dia itu diberikan hukuman" kata Om Ardi ketus. Reyhan memang berkali-kali telah membuat masalah, tapi ini tidak menyurutkan cinta ku padanya, aku mau di akhir hidupku, masih ada seseorang yang mencintaiku sebagai kekasih yaitu Rayhan. Kupandangi wajah ayahku yang tampak sendu ketika mendengar  Rayhan kekasihku berurusan dengan polisi *(Inna Nivanti)*

Rayhan, lelaki yang sangat kucintai memang suka membuat masalah, Tante Mira sangat menyayanginya bahkan memanjakannya. Itu mungkin yang membuat dia agak ugal-ugalan, suka membuat masalah. Dalam kegelisahanku, antara menahan sakit dan berita tentang Rayhan, kembali bayangan ibuku mendatangiku, mengelusku lembut membuatku semakin merindukannya. Aku teringat ketika beliau bercerita bahwa aku sebenarnya mempunyai seorang saudara, kakak lelaki yang diasuh oleh saudara ayahku. Kakakku pastilah seperti ayahku, sabar, penyanyang dan tegas, bukan sosok seperti Rayhan yang suka membuat masalah. Namun demikian  aku tetap sangat mencintainya. "Ra..." Lembut suara ayah membuyarkan lamunanku. ( *Sunik Kartirahayu*)


Sore itu udara cukup dingin,  ayah membawa segelas teh hangat untukku. Kutatap wajah ayah yang kusam mungkin karena capek,  dalam keheningan aku menyela,


"Ayah...bolehkah aku mengatakan sesuatu," kupegang tangan ayah kutempelkan dipipiku. 


Tentu putriku,  katakanlah apa yang kau mau," jawab ayah sambil mengusap rambutku. 


"Maafkan Aira Yah... kalau selama ini aku menyembunyikan sesuatu dari ayah," ucapku sambil kuletakkan kepalaku di pangkuan ayah. 


"Ada apa putriku... katakanlah," ayah menatapku. 


"Aku mencintai Rayhan Yah..." tanpa terasa air mataku berderai membasahi kedua pipiku. 


"Apa?" ayah terperangah,  kaget bagai disambar petir. *(Lilik Nur Kh)*


Suara ayah terdengar hingga ruang tamu tempat Tante Mira dan Om Ardi duduk. Mereka bergegas bangkit dan menuju ke kamar tempatku dan ayah berada.


"Ada apa, mas?" tanya Tante Mira pada ayah.

"Aira baru saja mengatakan kalau berpacaran dengan Reyhan, Mir." Jawab ayah sembari mengusap keningnya.


Tanpa berpikir panjang, Tante Mira mendekat padaku.

"Betul yang ayahmu bilang, Ra?" Tanyanya lembut seraya mengelus rambutku.

"Iya tante, Aira sangat mencintai Reyhan." Jawabku memelas.


"Tidak boleh, ini tak boleh terjadi!" Teriak ayahku mengagetkan suasana yang tadinya sendu di kamarku.

"Mas, pelan dan Jangan emosi dulu." Ucap Tante Mira pada ayah berusaha menenangkan.


Tante Mira pun mendekapku. 

"Ra, ini memang tak boleh terjadi." "Kamu dan Reyhan adalah saudara kandung." "Memang ini semua kesalahan tante karena tak menceritakan semua ini dari awal" Tante Mira berusaha memberikan penjelasan padaku.


"Tidak, sekali Reyhan tetap Reyhan." Teriakku sambil kutatap wajaha semua orang yang ada di kamarku. 

Kepalaku terasa pening dan tiba-tiba...     

Pett....


*(Catur Rochman)*


Tiga hari aku opname di Rumah Sakit Central Medica di kotaku. Aku tak mau siapapun menjengukku, termasuk Rayhan. Ayah yang senantiasa mendampingiku dan merawatku selama aku sakit. Berkali-kali Rayhan ingin masuk ruangan. Tapi aku selalu menolak. 


Mataku sembab karena hampir setiap waktu menangis. Ayah sedih melihat kondisiku. 


Rayhan yang awalnya tidak mau menerima kenyataan akhirnya luluh juga hatinya. Ia lebih rasional. Kalaupun tidak bisa menjadi sepasang kekasih ia masih bisa menyayangiku sebagai adik kandungnya sendiri. Sedangkan aku masih belum bisa menerima kenyataan ini.


Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Ayah meminta izin keluar sebentar untuk makan malam. Ia lantas berbicara kepada salah satu perawat.


"Suster, saya pamit sebentar mau cari makan malam. Saya titip Aira ya!" Perintah ayah kepada salah satu perawat.


Begitu ayah berlalu, tiba-tiba Rayhan masuk ruangan. Sudah lama sepertinya ia menunggu kesempatan ini. Kesempatan untuk bertemu aku, kekasih hatinya yang kini adalah adiknya tercinta.


Begitu ia membuka pintu kamar perawatan, Rayhan langsung melihatku yang sedang duduk.


"Rayhan!" Teriakku kaget


Rayhan langsung berlari memelukku. Lama sekali. Aku ingin melepasnya tapi aku justru merasa lebih tenang dan nyaman.


Pelukannya hangat. Tangannya mengelus kepalaku berulang kali dengan lembut sambil berkata,


"Kenyataan ini sangat sulit bagi kita. Tapi kita harus menerimanya."


Kalimat demi kalimat penenang meluncur dari mulutnya. Air mataku terus mengalir dari balik punggungnya hingga baju belakangnya basah.


"Ayah tak mampu merawat kita berdua secara bersamaan karena ibu kita meninggal. Kebetulan Tante Mira tidak punya anak. Ia memilih mengasuhku dengan syarat menyembunyikan identitas. Ia ingin aku menganggapnya sebagai ibu kandungnya sendiri. Ia takut kalau aku tahu akan pergi nya." Jelasnya dengan lembut.


Seminggu berlalu. Rayhan setiap hari mengunjungiku. Kadang ia memijitku dan menyuapiku. Bahkan membacakan novel baru yang baru ia beli untuk menghiburku.


"Kata dokter, kamu mengalami perkembangan yang bagus. Nafsu makan membaik. Bahkan berat badanmu naik 1 kg. Rambutmu juga sudah tidak rontok lagi. Kamu tambah cantik sekarang" 


Manis sekali kata-kata itu. Aku melihat senyum bahagia itu terukir saat ia  menatap mataku. Tapi aku tahu itu hanya untuk menghiburku. Waktuku mungkin tidak lama lagi. Setiap malam aku masih merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku.


Sungguh perhatiannya semakin membuat aku tak rela melepasnya. Hanya saja sepertinya kematian memang yang terbaik. Jika aku hidup maka aku tidak akan sanggup menerima kenyataan bahwa ia adalah anak pertama dari ayah dan almarhumah ibuku.


Baru kemarin aku mendapat kebahagiaan bahwa Rayhan mencintaiku. Ia adalah laki-laki pertama yang kucintai. Tapi, kenapa semua itu harus berakhir begitu cepat? Kenapa aku harus tahu kebenaran ini? 


Telah tiba saatnya rahasia besar terbongkar.     Harapanku untuk hidup bersama Rayhan, kandas. Kisah manis terpaksa harus aku akhiri. Ribuan kenangan harus aku telan.


Aku hanya diam di ruang serba putih ini. Ada amarah yang tak mampu terluapkan. Ada banyak impian yang tak bisa teraih. Juga banyak rencana yang hanya berujung wacana.


Berlinang air mata di pipiku. Belum pernah aku merasa sejatuh cinta ini pada seseorang. Namun, dalam waktu yang sama semua harus berakhir.


Bukan karena ada pihak ketiga. Bukan karena hilang kepercayaan. Bukan karena tidak saling mencintai lagi.


Justru harus dipaksa berakhir di waktu puncak cinta menggelora. Ibarat burung, aku sedang terbang tinggi lalu sayapku patah dan aku harus jatuh terjungkal.


Dalam kesedihan yang mendalam, tiba-tiba aku melihat cahaya. Cahaya yang sangat lembut. Cahaya yang membuat aku nyaman, melayang dan menjadi yang paling terang di atas langit.


Kini aku berada di bawah hamparan tanah dengan taburan bunga di atasnya. Aku berada tepat di sebelah ibu. Aku sudah tenang bersama ibu. Selamat tinggal dunia.


_"Hidup tak selamanya terasa manis, tapi tak selamanya pula terasa pahit. Jika takdir sudah berkata, maka tidak ada yang mampu mengubahnya Kembali. Seperti layaknya kertas yang telah menjadi abu. Dalam hidup pasti ada liku-liku yang menemani kita. Begitu pun dengan cinta. Setiap cinta pasti ada kelok-kelok yang ingin menghancurkannya. Tapi, hanya cinta sejati yang mampu menahannya, karena cinta sejati akan selalu menanti kita sampai kita kembali dalam dekapan-Nya."_



Tak menyangka, dari cerpen bergilir ini telah menghasilkan karya yang luar biasa. Cerpen ini berakhir tragis karena tokoh Aku (Aira) meninggal dunia dan tidak bisa bersama dengan lelaki yang dicintainya (Reyhan) karena mereka adalah saudara kandung. 


Para kontributor yang membuat cerpen ini merasa baper dan merasakan kesedihan yang luar biasa. Saya sampai memberi emoticon tangisan yang sangat banyak. 


Dengan diadakannya menulis estafet cerpen ini bertujuan  agar peserta terbiasa menyambungkan kalimat sebelumnya sehingga menjadi paragraf yang padu. 


Sangat tertantang sekali sebagai pendatang baru di Komunitas Aksara Bermakna. Semoga besok saya bisa menaklukkan tantangan yang lainnya. Amin.


#Day4NovAISEIWritingChallange




28 komentar:

  1. Dengan diadakannya menulis estafet cerpen ini bertujuan agar peserta terbiasa menyambungkan kalimat sebelumnya sehingga menjadi paragraf yang padu.

    Challenge yang menantang.

    BalasHapus
  2. Dan akupun hanyut dlm kesedihan.. Tak twrasa air mt mnetes bu aam..😭

    BalasHapus
  3. Ceritanya mengaduk-aduk perasaan..

    BalasHapus
  4. Plus minusya ada dalam cerpen berantai ini terutama masalah plot dan tokoh. Aliran cerita bisa belok ke mana perkiraan majunya setelah membaca penggalan cerita sebelumnya. Demikuan pula tokoh yang bermain (selain tokoh utama, akan bervariasi.... Kalau puisi agak mudah dipantaunya, sedangkan cerpen bisa jadi penggalan itu jadi kepala atau bakal cerpen tersendiri.... Untuk melatih ketajaman imajinasi Cerbung ini baik, paling tidak ada tuntutan saling membaca dan saling bersahut penggalan cerita seperti pragmen di televisi....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih cindera matanya sangat berkesan bunda. Supaya tokoh tidak bervariasi dan tidak melebar, koordinator sudah menentukan tokohnya. Jadi cerpen ini bisa saling bersahutan.

      Hapus
  5. Wah jadi pengen nyobain bikin seperti ini Bu, keren

    BalasHapus
  6. Yaaa Allah....
    kenapa AIRA meninggal ceritanya...sedih jadinya
    Coba ending nya Aira sembuh dan kemudian bertemu dengan kekasih yang baru dan menikah, begitu juga dengan Rayhan yang bertemu dengan jodohnya dan kemudian menikah. Kemudian mereka masing masing membina rumah tangga yang bahagia.Happy Ending... horeee

    Saya mau ikutan donk Bu....

    BalasHapus
  7. Terima kasih atas apresiasinya, Bu.
    Barakallah.

    BalasHapus
  8. Bu Aam, luar biasa.💪🏻💪🏻💪🏻

    BalasHapus

Challenge Resensi Buku “ Kisah Serdadu-serdadu Kecil”

  Sumber: www.wijayalabs.com Resensi Buku “ Kisah Serdadu-serdadu Kecil” Hai sobat Lage, hari ini saya mendapat kejutan buku karena suda...