 |
COVER NOVEL JUMINAH
|
BAGIAN KE-15
PENGABDIAN
Setelah aku lulus SMK aku memutuskan untuk
mengabdi di pesantren dengan diberi tugas mengajar di kelas SMP yaitu mata
pelajaran Mahpudzot. Kebetulan aku, memang sangat menyukai mata pelajaran ini dan
merangkap sebagai Qismu Ta’lim (bagian peribadahan). Sebenarnya, aku sendiri
merasa kurang percaya diri. Sejenak, aku bertanya pada diri, “apakah aku mampu?”
tapi seorang Ustazah mengingatkanku
dengan suatu hadits;
من علم علما علمه الله ما لم يعلم
Man allama ilman allamahullohu ma lam ya’lam.
Artinya: “Barang siapa yang mengajarkan ilmu, maka Allah akan
memberi sesuatu yang tidak tahu.”
Pada akhirnya, akupun menyanggupi. Mengajar,
sambil belajar pula. Di samping itu, tanpa pernah aku duga, salah seorang Ustaz
bernama “Ustaz Gundar” memintaku untuk mengisi pengajian ibu-ibu di daerah Banjar.
Masih Kecamatan Cipanas juga. Lalu, Pak Kiai mengizinkan.
Pertamanya, aku ragu karena ini adalah pertama
kalinya aku diberi kepercayaan untuk mengisi acara pengajian yang di mana
pengajian itu sudah menjadi rutinitas setiap minggunya dan tentunya yang biasa
mengisi acaranya pun Kiai yang sudah mumpuni dari segi ilmunya. Sedangkan aku
siapa??
Aku hanyalah seorang santri yang baru hanya 3
tahun menggali ilmu di pesantren dan juga, panggilannya ini mendadak. Aku hanya
punya waktu 1 malam untuk mempersiapkan materi karena aku biasa mengisi acara walimatul
Ursy (nikah) dan sekarang pengajian ibu-ibu. Tentunya materinya juga berbeda.
***
Pagi yang cerah sekitar pukul 08.00 WIB, Ustaz Gundar sudah datang menjemput dan aku
sudah siap atas bantuan kakak kelasku sekaligus guruku Kak Syifa yang serba
bisa dalam segala bidang. Bahkan ketika aku mau ada acara. Beliau yang
mendandani aku dan memilih gamis yang cocok untuk aku pakai.
Setibanya di tempat tujuan, kami dipersilakan
untuk duduk dulu dan ngobrol sebentar bersama Ustaz yang lainnya juga. Beberapa
menit kemudia aku sempat kaget juga ketika namaku dipanggil dengan sebutan “ Ustazah
Juminah Al-Qudsiah.”
Aku tertegun. Namun Saat ini, aku tidak
mempertanyakan sebutan itu. Segera aku dipersilakan untuk masuk majlis. Di sana
ibu-ibu pengajian sudah menunggu dan menyambut dengan shalawat.
Sepanjang
jalan yang aku lewati sampai tepat di mimbar, aku menyalami mereka yang sedari
tadi berdiri. Aku tidak tau kalimat apa yang pantas untuk menggambarkan hatiku di
awal acara ini. Yang jelas, aku bahagia bercampur haru karena aku tidak pernah
menyangka ini akan terjadi di hidupku.
Aku hanyalah orang kecil. Berasal dari
keluarga sangat sederhana. Tidak cukup hanya saampai disini. Batinku. Ketika
aku menjalani taqdir ini. Maka harus dengan tulus juga, aku memperbaiki segala
kekurangan diri.
Aku membawakan sebuah materi yang berjudul
“CINTA” yang mana cinta ini terbagi 5; yaitu; pertama, cinta taati,
cintanya kita sebagai hamba kepada sang pencipta (Allah). Dalam bentuk. Mentaati/menjalani
segala bentuk perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
Yang kedua yaitu cinta ikuti,
cinta nya kita kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Dengan jalan mengikuti jejak Rasulullah
SAW karena rasul merupakan suri tauladan yang baik. Mengapa kita harus
mencintai nabi?” karena nabi pun mencintai kita.
Salah satu bentuk nabi mencintai kita yaitu bahkan
ketika beliau mau meninggal pun,yang beliau khawatirkan bukan keluarganya,
bukan saudaranya, tapi umatnya. امتي امتي امتي umatku, umatku,
dan umatku. Aku taku umatku celaka, aku takut umatku tersiksa, aku takut umatku
tak masuk syurga inilah cinta yang murni dan sejati.
Yang ketiga yaitu cinta hormati, cintanya
kita kepada orang tua kita. Sebagai seorang anak, sudah sepantasnya kita
menghormati orang tua, dengan jalan berbakti kepadanya.
Yang keempat, yaitu cinta sayangi,
cinta orang tua pada anaknya. Jika sebagai orang tua mencintai anaknya. Maka
tentunya mungkin ia akan mendidik
anaknya menuju jalan yang benar. Salah satunya dengan memasukan seorang
anak ke pondok pesantren, karena ponpes merupakan suatu tarbiyyah yang akan
mencetak seorang anak menjadi shaleh shalehah. Insyaallah.
Yang kelima yaitu cinta birahi,
cintanya seorang laki-laki kepada perempuan, begitupun sebaliknya. Mengapa cinta
lawan jenis ini dinamakan cinta birahi?” karena tidak sedikit wanita yang rela
mengorbankan kehormatannya demi laki-laki yang dicintainya. Namun berbeda pula
demgan yang disebut cinta kasih.
Peradaban Islam dibangun atas dasar cinta dan
kasih sayang. Rasulullah pernah berkata, “Orang-orang yang punya rasa kasih
sayang, Allah yang maha sayang akan sayang kepada mereka. Sungguh hanya Allah lah
dzat tempat kita menggantungkan segala asa dan cinta dan Allah pulalah juga yang
berhak menanamkan dan mencabut rasa cinta dari dalam lubuk hati kita.”
Allah
berfirman, “sekiranya kalian infakkan semua kekayaan yang ada di bumi, niscaya
kalian takkan mampu mempersatukan hati-hati mereka (manusia). Tetapi Allah lah
yang mempersatukan hati mereka (QS Al Anfal {8};63).”
Ayat ini menegaskan, betapa harta benda tidak
cukup mempertautkan hati. Tidak pula berbagai ekonomi serta kondisi kebendaan
(materialisme). Kalaupun itu terjadi ia pastilah ikatan cinta semu. Sebatas
terpenuhinya sebuah kepentingan. Tentu saja cinta model ini (cinta atas
motivasi keduniaan). Pasti akan binasa dan fana. Jika ia tak dilengkapi serta
dibungkus jiwa yang lembut yang disinari roh ilahi. Inilah rasa cinta dan kasih
sayang yang sejati. Kasih sayang yang mendorong senyum yang mereka dan wajah
ceria saat bertemu sesama.
Akhir kata, aku tutup dengan sebuah pantun. Jika
ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Jika ada umur panjang, semoga
kita berjumpa lagi. Lalu diiringi salam. Ketika turun dari mimbar, seorang
ibu-ibu mendekatiku. Dia bilang, kalau dia mempunyai seorang anak laki-laki.
Lalu kemudian ibu itu memelukku daan berkata, “Andai kamu mau jadi anakku, tentu
aku akan sangat bahagia. Boleh ibu minta nomor handphonenya nak?” seraya
melepaskan pelukannya.
“Aku gak pegang hp bu.”
Lalu ia mengeluarkan kertas dan pena. Menuliskan
nomor hapenya dan memberikannya padaku.
“Ini nomor Ibu, suatu saat kamu bisa kontek ibu, Ok.”
“Insyaallah bu,” jawabku dan pamit.
Kemudian kami disuruh makan dahulu sebelum
kembali ke pesantren dan mereka sudah mempersiapkan segala bentuk makanan, kue, dan lain-lain untuk kami bawa. Mereka juga memberiku
amplop. Tapi, aku tidak suka makan amplop guys. Yang aku ambil cuma isinya.
Amplopnya aku buang. Alhamdulillah, sangat bersyukur sekali kala itu. Acara
berjalan sangat lancer dan sangat
meriah.
Dulu aku pernah merasa ragu apa aku bisa masuk
sekolah plus pesantren yang mana tentu harus ada perbekalan, sedangkan aku tahu
orang tuaku hanya buruh tani. Tapi ternyata di tengah keputusasaanku, Allah mengirimkan
orang-orang yang baik. Bahkan terkadang, ibu pondok pun sering menyakan
kabarku, bekalku, lalu ia memberiku sedikit uang.
Sungguh, aku tidak akan pernah melupakan orang-orang
baik yang pernah memperjuangkan aku. Sekarang, perantara guruku Ustaz Gundar, aku bisa lebih
memanfaatkan ilmuku, dalam kebenaran dan terjun ke masyarakat. Aku juga dengan
senang hati melakukan itu, karena aku sendiri juga masih dalam keadaan baik-baik
saja.
Yang kutahu, aku akan berbuat lebih baik lagi
pada seseorang jika orang tersebut baik padaku. Sedikit aku punya rezeki, aku
berikan pada orang tua, pada guruku, semoga berkah, itu saja yang aku minta.
Di kemudian hari, majlis pengajian ibu-ibu itu
meminta aku kembali mengisi acara. Alhamdulilah aku masih bisa, Allah masih
mengizinkan. Acara pun berjalan lancar. Berganti hari, orang tuaku datang
menjemput, karena ada seseorang yang meminta waktuku di acara pernikahan
putrinya. Kembali, aku berdiri di depan orang banyak. Kalangan masyarakat. Al
muqaddimah;
“Duduklah yang tenang, sekilas mata memandang,
jangan ragu dan jangan bimbang, karena yang di depan pun masih perawan.”
Sekilas aku melihat di pojok samping panggung.
Sekelompok para pemuda sepertinya. Ada beberap di antaranya Yang membuatku
sempat hilang konsentrasi karena tatapannya dan cara ia memperhatikanku seperti
berbeda. Membuatku tak mau kembali melirik ke arah mereka. Acara selesai, alhamdulilah.
Kututup dengan kalimat.
“Jika ada yang benar semata-mata hanyalah
milik Allah dan jika ada yang salah itu datang dari kebodohan diri saya. Wabilahi
taufik wal hidayah. Waridho wal inayah. Wassalamu alaikum Wr.Wb.”
Dilanjut dengan Kiai selanjutnya, Kiai Arjuna
Muda atau yang biasa disebut Kiai Balap Muda. Salah satu muridnya Kiai Haji Muhammad
Arif Soleh.
****
Keesokan harinya, tepat ketika aku sedang melaksanakan salat
duha, tahiat akhir, kira-kira pukul 09.00 WIB, seseorang mengucapkan salam.
Selesai salat, aku langsung buka pintu, serasa mengucapkan walaikumsalam. Dengan
masih mengenakan mukena.
“Maaf, mencari siapa?” tanyaku kepada tamu
yang tak diundang ini. Namun sepertinya aku pernah melihat salah seorang dari
mereka ini.
“Saya mencari Kak Ustazah yang semalam berpidato,dan tentunya ada dua
alasan yang membawa saya sampai kemari. Pertama, saya terkesan dengan isi pidatonya.
Kedua, saya terkesan sama orang yang berpidato nya.”
“Mmmm... Apa tidak berlebihan anda memuji?” Yah, aku baru ingat, dirimu yang duduk di
sebelah panggung itu bukan?” Lalu, dari mana kamu tahu gubuk saya ini?”
“Aku menanyakan pada sohibul hajat.”
“Mmm, ok. Lalu, apa sebenarnya maksud dan
tujuan kamu datang ke sini?”
“Aku ingin mengenal kamu lebih dekat. Kalau
bisa langsung menjadi istriku.”
Begitu gantlenya
laki-laki ini, yang aku sendiri belum sempat menanyakan siapa nama nya. Tapi
kurasa, tidak perlu juga.
“Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih
karena sudah mau bersilaturahmi dan untuk menjawab dari niatmu tadi, apa
sebetulnya yang memotivasi Anda untuk ingin memiliki dan meminang saya,
sedangkan Anda sendiri melihat nyata, inilah keadaan saya. Rumah pun sudah
sangat rapuh dan mendekati roboh sepertinya. Saya juga memiliki banyak adik
yang masih kecil -kecil.”
“Hati saya menjawab, “kamu adalah wanita yang
tepat, insyaallah.”
“Kamu tampan, kamu masih muda, saya lihat
penampilanmu, kamu dari kalangan santri juga sepertinya. Semoga Allah memberikan
jodoh yang terbaik untukmu. kita lebih baik menjalin persaudaraan saja. Saya
mohon maaf.”
“Apa Kakak bisa memberikan jawaban yang tepat.
Agar saya bisa mundur dengan senang hati.”
“Saya sudah bertunangan. Mohon maaf
sebelumnya.”
Setelah mendengar jawabanku, akhirnya
laki-laki itu pamit dan segera pergi meninggalkan gubukku.
***
Satu tahun berjalan sudah pengabdianku di
pondok, belajar sambil mengajar apa yang aku bisa. Terkadang aku hanya pulang
jika ada panggilan di acara mauled atau acara nikah misalnya.
Di samping itu, setelah aku graduate. Aku
dilamar seseoraang yang kebetulan dia santri Kampung Gajrug pesantren almarhum Kiai
H. Saiman. Sekarang, yang aku lihat adalah keluarga. Bagaimana aku bisa
membahagiakan mereka? Bagaimana aku bisa membangun rumah yang sebentar lagi
akan roboh sepertinya? Bagaimana aku bisa memberikan pendidikan yang tepat
kepada adik-adikku karena aku tahu dia sangat ingin masuk persantren. Ditambah,
dia memang ada bakat dari segi quro/qori.
Pada akhirnya aku mencoba untuk bekerja. Walau
sebetulnya, aku sudah meminta izin beberapa kali pun, guruku (pimpinan pondok)
tidak merestui karena beliau sangat menyayangkan dengan bakat dan kemampuan yang
kumiliki. Lagipula, kamu sudah sering mengisi acara-acara, ucap beliau.
Sesungguhnya, hati kecilku pun sama sekali
tidak tertarik pada bekerja. Aku sudah sangat bahagia dan merasa tenang berada
di lingkungan pesantren. Tapi, aku memang tidak pernah bisa untuk mementingkan
ego sendiri. Keluargaku butuh aku. Sebagai kakak tertua, aku harus memikirkan nasib adik-adikku yang membutuhkan biaya sekolah. Aku lalu pamit dari Pesantren dan kembali ke rumah untuk mempersiapkan melamar kerja di Jakarta.
BAGIAN KE-16
JAKARTA
Aku memutuskan untuk mencoba mencari
pengalaman dengan bekerja. Kebetulan salah satu temanku Alfi mengajakku ke Tanjung
Priok yang katanya ada saudaranya yang bekerja di pabrik baju dan insyaallah
kita bisa mudah masuk kerja. Mengenal ibu kota, yang kata sebagian orang “dunia
luar itu lebih keras.” Selama ini, hidupku berada dalam peraturan. Orang menyebut
pesantren bagaikan penjara suci.
Kami tiba di sana, dan langsung mencoba
melamar ke pabrik tersebut. Yang ternyata, tidak semudah yang dikatakan. Sangat
banyak sekali orang ngantri memasukan lamaran kerja pun sangat sulit dan di situ,
tidak hanya satu pabrik. Tapi banyak pabrik-pabrik lain di sebelahnya. Namun
yang paling dibutuhkan adalah penjahit. Kalaupun bagian pemotongan, pembuangan benang,
dan lain-lain, itu sudah penuh. Sampai akhirnya akupun berjuang berusaha belajar
menjahit. Tapi, yaa begitulah. Tak semudah membalikkan telapak tangan.
Berhari-hari, seperti itu, mencoba melamar
menunggu antrian dari pagi, pagi sekali bahkan sampai siang, bahkan mungkin
hari mulai sore, dipikir-pikir, lama-lama akan kehabisan bekal juga.
Aku teringat ada sahabat aku di Priok, sahabat
masa kecil dulu, sampai berpisah ketika kelas 2 SMP. Dia memilih kerja, dan tak
lama menikah dengan orang Tanjung Priok ini. Aku minta alamatnya ke kampong, alhamdulilah dapat.
Lalu aku dan Alfi mencarinya. Alhamdulilah ketemu.
Sampai pada akhirnya sahabat kecilku Nurmala, memintaku untuk tinggal dirumahnya saja,
karena ketika itu dia kerja di laundry, akupun ikut dengannya. Aku berpikir,
lumayan saja lah. untuk menyambung hidup, karena ternyata benar nyatanya. Kalau
dunia luar itu lebih kejam.
Di loundry itu hanya digaji satu juta sebulan
tapi dapat uang makan 20.000 perhari. Pokonya, aman deh kalau ada uang makan.
Setidaknya, tidak akan kelaparan pikirku.
Di saat ada waktu libur, aku, Alfi, dan Mala,
sengaja main main ke mall karena biasanya dapat banyak informasi melalui orang
ataupun ada tulisan tulisan “lowongan pekerjaan.” Prinsip aku, apapun itu masukan
lamaran selalu, ke depannya, yaa bisa dipertimbangkan kembali.
Beberapa hari kemudian, di hari yang sama, aku
mendapat telepon panggilan interview dari sebuah perusahaan yabg membutuhkan
tenaga Sales Promotion Girl (SPG)
adalah sebuah profesi yang memiliki tugas utama untuk memasarkan produk. Sekilas,
tugas tersebut gampang-gampang susah, karena harus mendapatkan hati para
pelanggan untuk membeli produk yang ditawarkan.
Di lain sisi, aku, Alfi, dan Mala, juga
mendapat panggilan interview dari restaurant yang ada di daerah Artha Gading,
bersebelahan dengan Mall of Indonesia, Jakarta Utara. Ketika aku bilang ke
mereka aku memilih yang di SPG, mereka seperti nampak kecewa. Intinya mereka
ingin kerja bersama sama.
Akhirnya, aku menuruti kemauan mereka untuk interview
di restaurant dan kami semua diterima. Tapi satu yang membuatku berat hati, Harus
lepas hijab. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Selain mengutamakan solidaritas
saat ini karena Alfi juga belum kenal dekat sama Mala.
Mala itu adalah sahabat aku dari kecil.
Sahabat baik banget, bahkan ketika sekolah jika salah satu di antara kami ada
yang tidak jajan, maka kami rela berbagi. Kalau Alfi, aku kenal dia waktu di
pesantren.
Kurang lebih 2 bulan berjalan sudah aku kerja
di restaurant dengan pulang pergi naik metro mini ongkos Rp 8.000 rupiah. Sesekali
ada seorang security. Dia bekerja di sebuah perusahaan yang bersebelahan dengan
restaurant aku kerja. Sering dia memperhatikan aku yang ketika turun dari metro
mini memakai rok seragam kerja kemeja putih lengan panjang dan kerudung
hitam/putih. Tapi ia tahu bahwa karyawan di restaurant itu menggunakan celana
hitam panjang lepas hijab, dan bermake up selalu.
Berkali-kali ia menawarkan tumpangan padaku,
tapi aku selalu menolak, dengan alasan takut. Takut diculik, takut dibawa ke
suatu tempat, banyak yang ditakutkan pokoknya karena terkadang kami kerja
berbeda shift.
Sehingga suatu ketika aku beres kerja agak
telat, karena over time, sampai tiba pukul 11.00 malam. Menunggu metro mini
tidak ada juga, busway pun sama.
Kemudian, lagi-lagi seorang security yang berpengawakan
cukup tinggi, dengan warna kulit sawo matang, memiliki senyum yang khas ini.
Dengan kedua lesung pipi nya. Memberhentikan Motor Ninja R-nya ini tepat di depanku
yang sedang duduk lesu karena kelamaan menunggu metro mini tapi tak ada muncul
juga.
“Mari naik, Nona. Tidak akan ada metro mini,
ini sudah terlalu malam. Kuantar kamu selamat sampai tujuan,” percayalah. Pinta
security itu seraya membuka helmnya sebentar. Lalu dipakainya kembali.
“Mmm.. Sebentar
aku berpikir, lalu akhirnya aku mau juga. Dari pada kelamaan di pinggir jalan.
Takut ada yang nyulik beneran,” pikirku.
“Di mana alamatnya Nona?” tanya lelaki itu
ketika motor mulai berjalan. Lalu aku menyebutkan alamat.
“Oh, ternyata kita satu arah. Beda gang saja ternyata.
Tapi jangan takut, aku akan memastikanmu. Masuk ke dalam rumah dengan selamat,”
jawabnya.
“Ternyata ada juga di Jakarta ini, orang yang
baik, padahal sebelumnya aku sudah banyak ketakutan.” Batinku merasa bersalah
padanya.
“Kamu sudah punya kekasih?” tanya lelaki itu
membuatku sedikit kaget.
“Mengapa memangnya?”
“Boleh aku minta nomor hp mu?”
“Mmm.. Maaf
aku gak bisa kasih.”
“Alasannya?”
“Aku gak bisa kasih alas an,” jawabku
“Ok,” jawabnya.
Ia lalu diam selama perjalanan. Mungkin dia
marah atau kecewa padaku. Tapi, itu lebih baik. Dari pada nanti ujung-ujungnya
dia bilang aku suka, lalu ngajak nikah. Kan bahaya? Dikarenakan saat ini, aku
sudah bertunangan dan aku tidak mau memutuskan sebuah hubungan. Terkecuali
laki-laki itu yang mutusin. Aku bisa apa, selain terima takdir.
BAGIAN
KE-17
SAUDI
ARABIA
Dua bulan sudah aku kerja di restaurant dan
saat ini aku sudah mantap pilihan untuk resigne. Alasannya jelas, karena kerja
di sini, harus melepas hijab dan itu sangat bertentangan dengan hatiku
sebetulnya. Walau aku sudah ada nyaman di sini, kadang sering dapat uang tip
dari costumer, dan memiliki teman-teman yang baik.
Tapi ya itu tadi apalah artinya uang, jika
hari-hari kita melakukan dosa yang secara disengaja. Setelah aku mengajukan
surat resigne, aku dipanggil HRD, lalu ditanya, apa alasan Anda resigne? Aku
jawab dengan tegas.
“Kalau di sini diperbolehkan pakai hijab, aku
mau lanjut kerja.”
“Itu tidak mungkin karena ini sudah
peraturannya begitu atau kamu mau saya kasih posisi yang lebih bagus, dan
otomatis gaji pun bertambah loh,” rayunya.
Berbagai rayuan ia berikan, namun aku tolak.
Lalu tiba pada alasan yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku sama sekali.
“Aku mau nikah,” jawabku.
“Mana coba lihat calonnya?” Dia meminta bukti.
Yaa aku kasih aja foto yang gak tahu sebenarnya itu siapa. Kebetulan foto itu
ada di hp aku. Dia udah berumur, bewokan. Sampai akhirnya nyebarlah isu aku mau
nikah sama laki-laki bewokan.
“But
whatever. Yang penting, aku sudah menyatakan resigne,” kataku dalam hati. Yang
nyatanya tetap saja aku belum diresmikan
resigne.
***
Beberapa hari kemudian, akhirnya aku bisa
resigne. Lucunya, kawan-kawan kerjaku, bahkan Supervisor, HRD,
mengucapkan, “aku tunggu undangannya.”
Aku jawab saja, “Ok,” seraya tersenyum kecil.
Alfi dan Mala mereka tahu, kalau aku resigne
kerja bukan karena mau nikah,tapi mereka jaga rahasia. Aku memang tidak
nyaman kerja lepas hijab dan juga aku
malas saja, kalau kerja harus selalu make
up. Setiap mau salat , wudhu, kan
harus hapus make up. Lalu, make up
ulang lagi, begitu selalu.
Untung saja ada teman kerjaku, Kak Ayu yang selalu mau dandanin aku, dan juga
sebetulnya, ada Kakak dari salah satu temanku waktu di pondok, mengajak aku
untuk ikut dengannya. Selebihnya, masalah kerjaan nanti ia bantu cari.
Sepulang
dari Artha Gading, aku langsung meluncur ke Jakarta Timur, yang arah dari Tanah
Abang itu hanya naik mobil Kopaja, lalu sampai di tempat Kakak temanku ini. Jujur, kita kenalnya, baru hari
ini. Tapi aku orangnya memang gampang akrab, selanjutnya ia kembali menemaniku
mencari cari pekerjaan di daerah yang tidak jauh dari ibu kota.
Aku
menyimpan lamaran, di sebuah restaurant Puri Indah Mall, karena aku lihat,
pekerja di situ memakai kerudung. Keesokan harinya aku langsung ada panggilan
interview, lalu, diajukan beberapa pertanyaan dan karena mungkin aku pernah ada
pengalaman kerja di restaurant, aku langsung diterima, dan bisa langsung
bekerja besok.
Sepulang
dari sana, kami mampir ke masakan padang. Iseng-iseng, Iis, Kakak temanku ini,
menanyakan apakah dibutuhkan pekerja, lalu, uda itu menanyakan, untuk siapa?”
“Ini.” sambil menunjuk ke aku.
Kita bicara panjang lebar, sebetulnya Uni dan Uda
ini yang punya masakan padang tidak pernah menerima pekerja perempuan, mulai
dari yang memasaknya, pelayannya, itu ada 4 karyawan laki-laki semua memang. Lalu,
uda melanjutkan bicaranya kembali. Tapi, sepertinya, aku perlu melihat kinerjamu
dulu. Kamu bisa masak?” tanya uda.
“Kalau diajari, insyaallah bisa uda,” jawabku.
“Ok. Besok kamu bisa tinggal di sini. Kebetulan,
kamar di atas juga kosong, kamu bisa tempati, karena karyawan-karyawan saya,
sudah ngontrak masing masing. Adapun Bang Latif, dia kadang-kadang nginep di sini,
tapi di atas ada dua kamar kosong kok,” lanjutnya.
Entah mengapa, hatiku lebih tertarik untuk
kerja di sini, karena tidak ada peraturan dari segi pakaian sehari hari, ataupun
harus bermake up, dan aku rasa, aku bisa menggali ilmu baru di sini.
Masakan padang itu enak loh, apa sih resepnya?
Apalagi Uda ini katanya mau mengajariku. Jadi, aku sangat siap.
You know guys, Ocha dan Ochi, anak dari bos aku yang punya masakan padang ini, mereka suka
main ke kamarku. Lalu, mereka mendengar aku membaca Al-Qur’an . Yang akhirnya,
mereka minta aku ajarin, sampai hari-hari selanjutnya, aku belum beres kerja
pun, 2 anak ini, malah sering menarik narik tanganku, minta temani main ke
taman wali kota, minta diajarin baca Al-Qur’an. Apalagi kalau udah tiba jadwal
pasar malam. Mereka sudah stay di depan kamarku. Tidak lagi merengek pada
ibunya, tapi tangan aku yang selalu dalam genggaman mereka.
***
Seperti biasa, jika hari Sabtu Minggu aku
pulang dulu, sekalian menengok adik laki-lakiku yang sedang di pesantren.
Alhamdulilah, semuanya baik-baik saja. Bahkan aku sangat senang, walau aku
memutuskan keluar dari pesantren dan memilih kerja, tapi hasilnya digunakan
untuk biaya adikku di pesantren. Hingga suatu masa, aku sempat menyaksikan adikku
berpidato. Memakai sarung safir hitam dan baju koko putih. Juga jaz hitam. “Perfect,” batinku memuji. Isi pidatonya
yang hanya aku ingat sebagian pembukaannya.
“Berdirinya saya di sini, bukan untuk bergaya,
tapi mau berdo’a, takut nanti tidak diakui mertua, gara-gara tidak bisa berdo’a.
Dengarkan oleh hadirin semuanya.”
Begitu ia hampir menutup pidato singkatnya. Aku
segera naik ke panggung, memeluknya dan memberikan saweran tentunya. Ternyata,
seperti ini rasanya. Bahagia, ketika orang yang kita perjuangkan bisa
membuktikan ilmunya dan mempraktikannya.
***
Hari demi hari kujalani dengan bekerja dan
bekerja selalu. Sesekali, aku sengaja duduk di depan kamar selepas kerja.
Memandang bangunan yang menjulang tinggi nan indah. Dengan sinar lampu di malam
hari. Terkadang, aku bertanya pada hatiku, apa tujuan hidup ini sebenarnya? Apa
yang kita cari? Bekerja. Yang berpenghasilan tidak seberapa. Lalu, harus berapa
lama kerja, agar bisa membangun rumah? Pertanyaan itu yang selalu bergelut
dalam hatiku.
Tiba waktu libur kembali, aku sengaja
menyempatkan untuk pulang dulu. Namun, sesuatu yang tiada disangka. Ketika aku
main ke rumah sahabatku, “Nuryati” yang kebetulan aku mendengar kabar, dia sedang
ada di kampung. Rumah kami tidak jauh kok, masih satu RT.
Dulu, kami sering ngangkut-ngangkut air, ke
sawah, yaaa intinya sering ke mana-mana bersama. Bedanya, sejak lulus SMP, dia
langsung kerja ke Jakarta, sedangkan aku lanjut sekolah di Pesantren. Hingga sekarang ini baru saja mengalam
kerja di Jakarta itu baru beberapa bulan saja.
Nuryati atau biasa aku panggil Nur, dia
umurnya beda 3 tahun sama aku. Setelah lama tidak bertemu, kini kami curhat
saling mengeluarkan segala kesedihan, bahkan kekecewaan. Ia berharap selama
bertahun-tahun ia kerja di Jakarta, bisa buat rumah. Tapi dia bilang, ternyata
di Jakarta itu, cuma ngegede’in badan doang. Hasilnya gak tahu uangnya ngalir
ke mana. Sampai pada titik akhirnya mengapa sekarang Nur ada di kampung.
Aku
sendiri baru tahu ternyata dia mau ke Saudi Arabia. Sempat kaget sih, gadis 17
tahun, nekat ke Saudi. Dia menjelaskan, faktor-faktor yang mendorong dia mengapa
sampai memilih ke Saudi, dan setelah aku
pertimbangkan kembali, ada betulnya juga. Hingga akhirnya, Nur pun malah
mengajak aku juga.
“Arab Saudi” tidak pernah sedikit pun aku
punya niat untuk ke Negara Arab Saudi. Tapi
lagi-lagi aku pikir ulang. Memang seharusnya “fokus” ketika dulu aku mencari
ilmu. Maka akan harus menghasilkan sesuatu? Alhasil, ketika dulu aku ingin bisa
berdiri di depan orang banyak. Aku bersungguh sungguh dalam belajar. Menggapai
cita-cita sampai aku bisa.
Sekarang, aku sudah memilih jalan. Untuk
mencari uang. Walau sebetulnya dulu pun, aku sudah bisa menghasilkan uang. Dari
modal bicara saja. Tapi aslinya, mengapa aku mundur dari jalur tersebut. Aku tidak mau
mendapatkan uang dari hasil ceramah. Hati kecilku seperti menolak untuk itu.
Aku hanya ingin, suatu saat jikalau aku dipanggil kembali ke jalur khutbah. Aku
ingin melakukannya, tanpa bayaran.
“Bagaimana, kamu mau ikut gak Jum? Aku yakin
kamu tidak terlalu sulit di sana. Kamu kan pernah mondok juga, pernah belajar Bahasa
Arab. Jadi, sedikit banyaknya, kamu sudah tahu lah,” kata Nur yang memecah
lamunanku. Tanpa berpikir lagi yang kesekian kalinya, aku menjawab, “aku mau.”
“Ok. Besok kamu bisa ngobrol langsung dengan
sponsornya, dia akan ke sini,” kata Nur kembali.
***
Kembali lagi ke rumah, aku langsung
membicarakan niatku yang akan bekerja ke Saudi. Aku mengatakannya pada orang tuaku
dan sebetulnya aku juga tahu. Mereka memang tidak akan bisa menghalangi apapun
yang sudah menjadi keputusanku.
Jika sudah rencananya, ternyata sangat mudah
baginya (Allah). Setelah aku bertemu dengan sponsor berbicara panjang lebar,
dia menerimaku. Lalu, aku, dan ayah langsung berziarah dahulu ke makam nenek.
Ba’da duhur aku langsung kembali ke tempat
kerjaku yang di masakan itu karena memang kami akan segera ke PT/kantor untuk
langsung menjalani proses mulai dari Medical. Aku pamit, sekalian ambil barang
barang juga. Aku jelaskan kepada mereka, maksud dan tujuanku.
Bos bingung juga, mengapa mendadak Jum?” katanya.
“Tidak ada rencana dari awal juga memang, ini
adalah keputusan yang mendadak bos,” jawabku. Namun alhamdulilah. Mereka juga
memahami dan melepasku dengan ikhlas.
BERSAMBUNG***